Home » » Beberapa Pandangan mengenai Pluralisme

Beberapa Pandangan mengenai Pluralisme

Written By perbandingan agama on Selasa, 15 November 2011 | 15:50

Oleh : Irfan Murzaqi Rahman

PENDAHULUAN

Berbicara tentang hubungan antar agama, wacana pluralisme agama menjadi perbincangan utama. Pluralisme agama sendiri  dimaknai secara berbeda-beda di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, baik secara sosiologis, teologis maupun etis.

PEMBAHASAN

Pluralisme Menurut Mukti Ali, M Rasjidi, Djohan Efendi, Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid dan Alwi Shihab.

Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.

Pengakuan pluralisme secara sosiologis ini juga dikemukakan oleh Mukti Ali. Mukti Ali secara sosial tidak mempersoalkan adanya pluralisme, dalam pengakuan-pengakutan sosial, tetapi ia sangat tegas dalam hal-hal teologis. Ia menegaskan bahwa  keyakinan terhadap hal-hal teologis tidak bisa dipakai hukum kompromistis. Oleh karena itu, dalam satu persoalan (objek) yang sama, masing-masing pemeluk agama memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, misalnya pandangan tentang al-Qur’an, Bibel, Nabi Muhammad, Yesus dan Mariam.

Mukti Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari berbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk  agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat, penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah, dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.[2]
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia  involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.

Wacana pluralisme agama Djohan Effendi berbeda dengan pluralisme Rasjidi dan Mukti Ali di atas. Pengakuan pluralisme Djohan Effendi bukan hanya pengakuan secara sosiologis bahwa umat beragama berbeda, tetapi juga pengakuan tentang titik temu secara teologis di antara umat beragama. Djohan tidak setuju dengan absolutisme agama. Ia membedakan antara agama itu sendiri dengan keberagamaan manusia. Pengertian antara agama dan keberagamaan harus dipahami secara proporsional. Menurutnya, agama terutama yang bersumber pada wahyu, diyakini sebagai bersifat ilahiyah. Agama memiliki nilai mutlak. Namun, ketika agama itu dipahami oleh manusia, maka kebenaran agama itu tidak bisa sepenuhnya ditangkap dan dijangkau oleh manusia, karena manusia sendiri  bersifat nisbi. Oleh karena itu, kebenaran apapun yang dikemukakan oleh manusia termasuk kebenaran agama yang dikatakan oleh manusia, bersifat nisbi, tidak absolut. Yang absolut adalah kebenaran agama itu sendiri, sementara kebenaran agama yang dikatakan oleh manusia itu nisbi. Kebenaran absolut itu hanya bisa diketahui oleh ilmu Tuhan.

Hal yang sama juga dikemukan oleh Nurcholis Madjid. Ia mengemukakan ketidaksetujuannya dengan absolutisme, karena absolutisme adalah pangkal dari segala permusuhan. Ia mengatakan:
Petunjuk konkret lain untuk memelihara ukhuwah adalah tidak dibenarkannya sama sekali suatu kelompok dari kalangan orang-orang beriman untuk memandang rendah atau kurang menghargai kelompok lainnya, sebab siapa tahu mereka yang dipandang rendah itu lebih baik daripada mereka yang memandang rendah. Ini mengajajarkan kita –dalam pergaulan dengan sesama manusia, khususnya sesama kalangan yang percaya kepada Tuhan—tidak melakukan absolutisme, suatu pangkal dari segala permusuhan.”[3]

Sementara itu, Abdurrahman Wahid menegaskan masalah pluralisme bukan dalam pengertian pluralisme yang dikemukakan oleh Djohan Effendi dan Nurcholish Madjid di muka. Ia menekankan pandangan keterbukaan untuk menemukan kebenaran di mana pun juga. Pluralisme yang ditekankan Gus Dur adalah pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Inilah yang melahirkan toleransi.

Sikap toleran tidak bergantung pada tingginya tingkat pendidikan formal atau pun kepintaran pemikiran secara alamiah, tetapi merupakan persoalan hati, persoalan perilaku. Tidak pula harus kaya dulu. Bahkan, seringkali semangat ini terdapat justru pada mereka yang tidak pintar juga tidak kaya, yang biasanya disebut “orang-orang terbaik’.Gus Dur memberi contoh sebagaimana yang dilakukan oleh Kyai Iskandar, dengan cara bergaul secara berbaur dalam masyarakat.

Gus Dur mengembangkan pandangan anti eksklusivisme agama. Menurutnya, berbagai peristiwa kerusuhan yang berkedok agama di beberapa tempat adalah akibat adanya eksklusivisme agama.[4] Apa yang disampaikan oleh Gus Dur  sebenarnya lebih merupakan otokritik bagi umat Islam sendiri, karena adanya politisasi agama dan pendangkalan agama.
Sementara itu, Alwi Shihab menunjukkan dua komitmen penting yang harus dipegang oleh dialog, yaitu sikap toleransi dan  sikap pluralisme. Toleransi adalah upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan. Adapun yang dimaksud dengan pluralisme adalah :
  1. Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun adanya keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan.
  2. Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Namun, interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat minimal, kalaupun ada.
  3. Konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Karena, konsekuensi dari paham relativisme agama bahwa doktrin agama apapun harus dinyatakan benar. Atau, “semua agama adalah sama”. Oleh karena itu, seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima, suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Namun demikian, paham pluralisme terdapat unsur relativisme, yakni unsur tidak mengklaim kebenaran tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain. Paling tidak, seorang pluralis akan menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain.
  4. Pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.[5]
Pluralisme menurut Ajaran Agama Hindu[6]

Sulit untuk menelusuri dan menelaah awal mula dari ajaran ini, tapi kiranya agama Hindu berkembang di tanah subur yang juga telah menumbuhkan Jainisme dan agama Buddha. Ketiga agama ini sama-sama mepunyai praanggapan tentang karma(jejak atau benih mental yang ditinggalkan oleh setiap gagasan atau tindakan yang sama pada masa yang akan datang; kemauan; tindakan), samsara(dunia fenomena, yang terus-menerus bergerak atau mengalir dan kelahiran kembali merupakan salah satu seginya), dan jiva(diri empiris, jiwa individu).

Setiap agama memiliki pengertian yang berbeda-beda khususnya mengenai ilahi atau yang muthlak, yang akan dialami di ujunga perjalanan bathiniyyah/rohani. Menurut tradisi Brahman, realitas dimengerti sebagai ”keberadaan murni”, artinya : realitas adala suatu substansi yang sama sekali tidak berubah, sebuah konsep yang yang dinyatakan dalam doktrin atma dari Upanisad. Para penganut Buddha mengambil pendirian yang berlawanan, doktrin anatma dari Buddha, dan memahami realitas sebagai sementara (ksanika), unik (svalaksana), uniter(dharmamatra), dan terus menerus mengalir. Jainisme tampaknya mengambil jalan tengah dengan menjelaskan realitas sebagai memberi realitas yang sama pada substansinya dan caranya pada ”ada” dan ”menjadi”.

Agama Hindu, yang dipahami melalui tradisi Brahman, mengannggap dirinya sebagai wahyu penyatuan diri rohani, keberadan murni yang tidak berubah (atman) dengan realitas yang penghabisan, yang muthlak, yang ilahi.
Upanisad, yang umumnya ditempatkan pada masa-masa sebelum Mahavira dan Buddha, berisi pembahasan mengenai jiva, karma, samsara namun memusatkan perhatian pada pengetahuan mengenai diri rohani dan sarana pengejawantahannya. Hasil penyelidikan diri rohani ini ialah keyakinan Hindu pada satu realitas ilahi yang dapat mengejala dalam banyak bentuk yang berbeda.

Penganut Hindu umumnya melihat sekte-sekte yang ada dalam agama Hindu dan agama-agama lain sebagai pengejawantah-pengejawantah yang berbeda dari satu realitas ilahi yang ekstern. Karena semua pengejawantahan kembali mengarah ke sumber yang sama, maka tidak boleh ada pertentangan diantara tradisi-tradisi yang ada.
Menurut pandangan Hindu, seluruh segi dunia berasal dari satu leluhur bersama. ”Tidak perlu ada senacam persamaan antara bunyi, bentuk, jumlah, warna, gagasan, sebagaimana juga antara abstraksi dunia halus dan transenden di satu pihak dan bentuk-bentuk alam semesta yangh nyata di lain pihak . . . Seluruh Alam (prakrti) tidak lain adalah lambang dari realitas yang lebih tinggi”.

Dari sudut pandang saya, hal itu lebih serupa dengan memandang sebuah patung dari sudut-sudut yang berbeda.
Menurut jalan pemikaran agama Hindu harus bersikap toleran dan terbuka terhadap agama-agama lain karena makin banyak segi ilahi dapat diamati, maka makin sempurnalah pemahaman mereka. Begitupun, di masa klasiknya Hindu berpendapat bahwa agama-agama lain dapat dipahami sebagai visi tambahan mengenai realitas ilahi yang sama; para rsi baru seperti Musa, Yesus, Muhammad, dan Buddha dapat dilihat sebagai penerima perspektif-perspektif baru mengenai yang ilahi satu-satunya. Akan tetapi, agama Hindu klasik tampaknya menggunakan ketentuan bersyarat. Meskipun setiap agama menggerakan orang menuju tujuan pembebasan dari karmasamsara dan persatuan dengan yang ilahi, hanya dengan bantuan wahyu dari Veda orang baru dapat bener-benar mencapai pembebasan yang sempurna.

PENUTUP

Tampak Mukti Ali ingin menegaskan bahwa masing-masing agama memiliki keyakinan teologis yang tidak bisa dikompromikan. Islam memiliki keimanan sendiri, bahkan termasuk mengenai hal-hal yang diyakini oleh umat agama lain, misalnya konsep tentang Nabi Isa. Begitu juga, Kristen memiliki keimanan sendiri, bahkan termasuk mengenai hal-hal yang  diyakini oleh Islam, misalnya konsep tentang Nabi Muhammad.

Jadi, pengakuan tentang pluralismenya berada pada tataran sosial, yakni bahwa secara sosiologis kita memiliki keimanan dan keyakinan masing-masing. Persoalan kebenaran adalah persoalan dalam wilayah masing-masing agama.
Begitupun dapat dicermati menurut Rasjidi, bahwa dia tidak memandang adanya pertemuan  dalam masalah-masalah teologis. Pandangan pluralismenya tidak berarti adanya  pertemuan dalam hal keimanan, namun hanya merupakan pengakuan atas keberadaan agama-agama lain. Pandangan pluralismenya tidak sampai masuk pada perbincangan tentang kebenaran-kebenaran yang ada di dalam agama lain. Ia sama sekali tidak menyinggung tentang hal itu. Namun demikian, ia juga tidak memandang kesalahan-kesalahan ajaran teologis dari agama lain. Kritiknya terhadap agama lain adalah kritik sosial, dalam arti bahwa ia mengritik praktek-praktek misi atau zending dari agama Kristen. Ia mengritik aktivitas misi atau zending tersebut. Ia tidak mengritik berbagai ajaran teologis yang ada di dalam agama Kristen.
Karena itulah pola yang dipakai Rasjidi adalah pola responsif atas persoalan yang  berkembang, misalnya tentang kristenisasi, sehingga terkesan defensif. Apa yang dikemukakannya adalah sebuah pembelaan, sebuah dialog bertahan, bukan menyerang. Pembelaan Rasjidi atas berbagai persoalan yang menimpa umat Islam disampaikan secara terus-terang dan terbuka, bahkan kadang kala tidak dapat menghindari munculnya tuduhan, tudingan dalam  dalam hal-hal yang empirik (aktual). Ia tidak pernah menutupi sesuatu pun, meskipun hal itu terasa pahit dan keras, misalnya tentang apa yang dilakukan oleh umat Kristen.

Terdapat kesan bahwa pandangan tentang absolutisme agama didasarkan oleh kandungan ajaran bahwa pemeluk agama tidak dapat objektif terhadap kebenaran lain. Bagi umat Islam barangkali didasarkan pada ajaran bahwa “agama yang paling benar di sisi Allah adalah Islam”.

Pemikiran pluralisme Djohan Efendi berangkat dari suatu pemahaman bahwa dakwah (baik Islam maupun Kristen) adalah sesuatu yang penting, tapi ia kurang setuju jika keberagamaan seperti itu bertolak dari pandangan keagamaan yang bersifat mutlak dan statis (menganggap bahwa kebenaran atau keselamatan menjadi klaim satu kelompok). Dari sinilah, menurut Djohan, dialog merupakan sesuatu yang esensial untuk merangsang keberagamaan kita agar tidak mandeg dan statis. Sekali lagi, Djohan tidak menyetujui absolutisme agama, sehingga paksaan atau kekerasan apapun tidak boleh mendapat tempat di dalam usaha-usaha dakwah. Dalam hal ini, yang  dibutuhkan adalah sikap moderat dan liberal terhadap iman lain. Dari situlah, teologi kerukunan akan bisa terwujud.

Nurcholish menegaskan betapa pentingnya kehidupan beragama. Ia tidak menjelaskan secara tegas apakah yang dimaksud agama di sini adalah agama Islam saja. Artinya, agama yang dimaksud adalah agama secara umum. Namun, dengan bahasa yang dialektis, ia melakukan otokritik terhadap pemeluk agama. Ia mengakui bahwa dalam agama-agama, lebih tepatnya, dalam lingkungan para penganut agama-agama, selalu ada potensi kenegatifan dan perusakan yang amat berbahaya.

Dalam seluruh sejarahnya yang panjang, sikap agama Hindu terhadap agama-agama lalu selalu tetap. Ada satu realitas ilahi yang mewujudkan dirinya dalam banyak bentuk. Bermacam-macam agama merupakan pewahyuan-pewahyuan yang berbeda dari satu realitas ilahi itu.

Begitu orang mundur dari metafisik Hindu, maka agama Hindu tidak lagi tampil sedemikian terbuka dan toleran terhadap agama-agama lain ialah memuthlakkan relativisme yang secara tidak langsung dinyatakan dalam pandangan bahwa bermacam-macam agama hanya merupakan perwujudan berbeda dari satu Yang Ilahi. Penolakan agama Hindu untuk mengakui tuntutan atas kebenaran yang eksklusif (misalnya agama Kristen atau agama Buddha) yang berbeda dari wahyu Veda menunjukkan bahwa toleransi Hindu ada batasnya. Tentu saja, dalam hal ini orang-orang Hindu tidak berbeda dari kaum beriman lainnya yang yakin bahwa mereka memiliki wahyu yang benar dan berusaha memaksakan kebenaran mereka pada orang-orang lain.


[1] Mahasiswa Perbandingan Agama, Universitas Sunan Gunung Djati Bandung.

[2]A. Mukti Ali, “Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi”, dalam Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta : INIS, 1992), hlm. 227-229.

[3]Paragraf itu merupakan komentar Nurcholish Madjid yang dicantumkan dalam buku Atas Nama Agama. Lihat Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 259.

[4]Abdurrahman Wahid, “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintasi Batas Agama (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 52.

[5]Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung : Mizan, 1999), cet. VII, hlm. 41-43.

[6] Harold Coward, PLURALISME TANTANGAN BAGI AGAMA-AGAMA (Yogyakarta : Kanisius, 1989), cetakan I, hlm 115-145.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BEM JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger