Home » » Dahulukan akhlak diatas fiqih

Dahulukan akhlak diatas fiqih

Written By perbandingan agama on Rabu, 16 November 2011 | 00:14

Berebut sorga tidak hanya terjadi dikalangan lintas agama, dalam intern agamapun kejadian ini sepertinya kerap terjadi. Perbedaan waktu shalat ied yang berbeda dari ketentuan MUI, diklaim oleh sebagian golongan sebagai golongan yang menyimpang. Dan merasa paling benar, padahal yang mengatakan hal itu adalah orang yang hanya ikut-ikutan saja (taqlid).
Ketika seorang muslim menganut satu madzhab, yang mana madzhab itu dijadikan sebuah rujukan dalam kehidupan sehari-harinya untuk menjalankan syariat islam. Cara pandangnya akan Islam akan berubah, tapi yang membawa perubahan paradigma itu bukanlah madzhab yang di anutnya, melainkan paradigma keberagamaannyalah yang berubah. Paradigma itu akan terbentuk menjadi dua, pertama Paradigma fiqih dan yang kedua paradigma akhlak.
Paradigma adalah cara pandang kita, paradigma menentukan apa yang kita yakini dan pada akhirnya menentukan perilaku kita. Menurut Thomas Khun, paradigma tidak saja bersifat kognitif, tetapi juga normatif. Paradigma tidak saja mempengaruhi cara mendekati dan bertindak atas realitas. Dalam bahasa arab Fiqih berarti paham, pengertian, atau pengetahuan. Fiqih juga merupakan himpunan fatwa ulama yang berkaitan dengan hukum-hukum syara.
Fiqih, pada mulanya dintandai dengan perbedaan pendapat. Setiap fiqih dibicarakan, ikhtilaf selalu dikemukakan. Setiap madzhab memilih satu pendapat dan mempertaruhkannya dengan berbagai argumentasi. Semua argumentasi itu merujuk pada Al-Qur’an dan Hadist. Tetapi, ketika sampai dikalangan orang awam, pilihan madzhabnya itu dianggap sebagai satu-satunya kebenaran. Sedangkan pada ulama yang mengerti, perdebatan itu dianggap hal yang biasa, karena perbedaan pemikiran setiap kepala.
Ketika paradigma fikih yang dipakai oleh seseorang, pandangan akan sesuatu yang keluar dari madzhabnya dan yang diyakininya akan dianggap sebagai sebuah kesalahan. Ada empat ciri ketika paradigma fiqih digunakan sebagai paradigma diniyah: kebenaran tunggal, asas madzhab tunggal, dan fikih sebagai ukuran kesalehan.
Ketika seseorang beranggapan bahwa hasil ijtihad ulama madzhabnya yang paling benar, maka akan memunculkan satu asas yaitu madzhab tunggal. Madzhab tunggal inilah yang diyakini sebagai satu-satunya kebenaran. bila ia percaya dengan mengikuti madzhabnya semua orang akan selamat dan bersatu. Dan bila ia menggunakan fikih sebagai ukuran kesalehan seseorang, karena memandang bahwa fikih madzhabnyalah yang paling benar, maka paradigma fiqihlah yang dia anut. Kesalehan bukanlah terletak pada madzhab yang diikuti. Ketika haramnya menggerakan jari telunjuk saja diperdebatkan oleh para ulama, tetapi haramnya mematahkan telunjuk disepakati oleh semua madzhab.
Adapun paradigma akhlak sebaliknya dari paradigma fikih, dimana ada kebenaran jamak. Hal ini dicontohkan nabi ketika Beliau menjawab pertanyaan orang yang sedang dalam perjalanan dipadang pasir, ketika masuk dzuhur dan tidak ada air. Mereka bertayamum dan melakukan shalat. Belum jauh berjalan, dan waktu dzuhur belum berganti, mereka menemukan air. Salah seorang di antara mereka berwudlu dan mengulang shalatnya. Kawannya, karena merasa sudah melakukannya bergeming. Ketika keduanya sampai pada Nabi SAW, beliau berkata kepada orang yang tidak mengulang shalatnya ”ashabta al-sunnah! Kamu sudah benar mengerjakan sunah”. Cukuplah shalat yang sudah kamu lakukan. Kepada orang yang melakukan shalat sekali lagi, beliau bersabda fa laka al-ajru marratain. Bagimu pahala dua kali.
Jika perbedaan dalam fiqih dimaksudkan untuk memberikan kamudahan, maka kesalehan tentu saja bukan dalam menjalankan fiqih, betapapun sulitnya. Yang paling saleh diantara kita bukanlah orang yang bersidekap pada waktu berdiri shalat, bukan juga yang meluruskan tangannya, karena kedua cara shalat itu merupakan ijtihad para ulama dengan merujuk pada hadis yang berbeda. Fiqih tidak bisa dijadikan ukuran kemuliaan. Seperti sabda Nabi SAW. “sesungguhnya seorang hamba mencapai derajatnya yang tinggi di akhirat dan kedudukan yang mulia karena akhlaknya yang baik, walaupun ia lemah dalam ibadah (HR At-Thabrani).
Wallahu a’lam.

rujukan:
dahulukan akhlak diatas fiqih - Jalaluddin Rakhmat
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. BEM JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger